Perang Pasifik usai. 17 Agustus 1945, Hindia Belanda memproklamirkan kemerdekaan dengan nama barunya: Indonesia. Di dalam negeri, kehidupan kembali menggeliat. Selangkah demi selangkah penelusuran jejak kehidupan purba Sangiran kembali dilanjutkan. Teuku Jacob, Sartono, dan Soejono merupakan murid-murid von Koenigswald yang meneruskan penelitian di Sangiran. Fosil-fosil terus bermunculan melalui kegiatan penelitian mereka. Kualitas dan kuantitas fosil vertebrata dan homini seolah tanpa henti berhasil diangkat dari lapisan purba Sangiran. Kekayaan ini mengantar Sangiran menjadi salah satu situs hominid yang dipandang dunia. Menyadari potensi Sangiran yang demikian prima, maka pemerintah Indonesia mengajukan proposal nominasi Situs Sangiran sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO pada tahun 1995. Implementasi ke arah pengakuan dunia tersebut menempuh berbagai ujian dan penilaian ICOMOS pada tahun 1996. Hasil dari kunjungan ini akhirnya merekomendasikan kepada World Heritage Committee untuk menerima Sangiran sebagai salah satu Warisan budaya Dunia. Nilai penting Situs Sangiran sebagai salah satu situs kunci untuk pemahaman evolusi manusia melalui temuan-temuan fosil manusia dan alat-alat paleolitiknya. Sangiran juga menyimpan data kehidupan sejak Kala Plestosen Bawah yang tersimpan di dalam lapisan-lapisan tanahnya. Pada tanggal 5 Desember 1996 di Merida (Mexico), Sangiran ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia oleh World Heritage Committee dengan nomor C593. Sejak saat itu Sangiran bukan hanya menjadi milik bangsa Indonesia, tetapi telah menjadi milik dunia.